Sunday 15 April 2018

A Court of Thorns and Roses


 Judul: A Court of Thorns and Roses (A Court of Thorns and Roses #1)
Penulis: Sarah J. Maas
Tebal: 448 halaman
Penerbit: Bloomsbury

When nineteen-year-old huntress Feyre kills a wolf in the woods, a beast-like creature arrives to demand retribution. Dragged to a treacherous magical land she knows about only from legends, Feyre discovers that her captor is not an animal but Tamlin--one of the lethal, immortal faeries who once ruled their world.

As Feyre dwells on his estate, her feelings for Tamlin transform from icy hostility into a fiery passion that burns through every lie and warning she's been told about the beautiful, dangerous world of the Fae. But an ancient, wicked shadow over the faerie lands is growing, and Feyre must find a way to stop it . . . or doom Tamlin--and his world--forever.


Review:
Jadi, akhirnya saya baca juga buku terkenal ini. Yang saya tahu buku ini merupakan retelling dari Beauty and the Beast. Saya juga tahu kalau ini targetnya lebih ke arah dewasa.

Ceritanya tentang Feyre, seorang pemburu yang tinggal di desa kecil bersama ayah dan kedua kakak perempuannya. Desa mereka itu ternyata berbatasan dengan daerah kaum peri.

Suatu hari, Feyre membunuh seekor serigala raksasa di hutan itu. Tapi... ternyata serigala itu adalah peri yang menyamar menjadi binatang. Karena kesalahan Feyre itu, seorang raja peri bernama Tamlin datang menagih balasan. Feyre harus rela menjadi tahanan sebagai konsekuensi tindakannya.

Saya kira sinopsis itu cukup mewakili kisah di buku ini. Sisanya lebih asyik dibaca sendiri karena misteri dan dunia fantasinya lumayan bagus.

Jujur saja, sewaktu saya membaca buku ini, saya sama sekali lupa soal Beauty and the Beast. Iya, saya sadar kalau konsep tahanan itu mirip dengan dongeng tersebut. Tapi, saya menebak kalau hanya itu kesamaannya. Jadi, saya agak merasa bingung dengan pengalaman Feyre di dunia peri. Serius, tidak ada yang terjadi selama Feyre ditahan. Dia cuma disuruh tinggal di sana, dikasih makan, disuruh pakai gaun bagus, dan bahkan diizinkan untuk melakukan hobinya, yaitu melukis.

Warning: Spoiler!

Feyre termasuk karakter yang membosankan. Dia terlalu biasa saja untuk menjadi narator utama dari buku ini. Dia juga sangat nekad dan bodoh kadang-kadang. Dia kan tidak punya kekuatan apa pun untuk bisa bertahan hidup di luar keamanan rumah Tamlin. Tapi, dia tetap saja berani menerjang bahaya dengan menjelajah hutan. Mungkin Sarah J. Maas ingin memberikan plot menarik yang sedikit menegangkan sekaligus memberi kesempatan supaya Tamlin bisa menolong Feyre. Tapi, saya merasa tindakan Feyre itu tidak sesuai dengan karakternya. Baru setelah saya tahu kalau Feyre tidak bisa membaca, saya jadi merasa karakter aneh Feyre itu masuk akal. Yah, saya agak jahat sih. Saya merasa orang yang tidak bisa membaca pasti kurang berpendidikan dan tidak terlalu bisa membuat keputusan yang bijaksana.

Kelebihan Sarah J. Maas adalah menciptakan setting cerita. Yang membuat saya gampang masuk ke dalam ceritanya adalah settingnya. Desa sepi dan dingin, dunia peri yang memberi kesan magis, peta dunia peri yang terkesan menarik sekali karena ada berbagai macam kerajaan di dalamnya... Saya betah sekali bacanya karena saya merasa seakan sedang tinggal di dalam dunia itu. Saya juga ingat dulu saya mudah masuk ke dalam cerita seri Throne of Glass karena settingnya yang asyik. Tidak terlalu banyak sihirnya, dunianya medieval, dan plotnya sangat sehari-hari sebelum mencapai adegan klimaksnya. Kebetulan saya bukan tipe pembaca yang suka cerita yang banyak aksinya. Saya lebih suka plot lambat dan fokus ke interaksi antara karakter-karakternya. Dan... Sarah J. Maas ini sangat memedulikan karakternya. Saya suka sekali sama Lucien di buku ini.

Oh, ya. Karena buku ini lebih dewasa dibandingkan seri Throne of Glass, romance-nya sangat kental dan banyak sexual tension. Hubungan Tamlin dan Feyre sengaja dibangun pelan-pelan sampai ke titik maksimal. Saya harus mengaku kalau penulis jago dalam hal itu. Saya bahkan percaya kalau rasa cinta Feyre ke Tamlin itu nyata dan mampu membuat Feyre mengorbankan segalanya demi menyelamatkan pria itu.

Sebenarnya ini buku yang bisa dibahas secara detail. Soalnya, ada bagian yang saya suka banget dan ada bagian yang saya tidak suka. Buku ini sangat bermasalah. Beberapa bagian agak terlalu over the top dan bikin saya mengernyit. Terutama soal penjahatnya yang menurut saya agak melempem. Setelah dibangun secara mengerikan di awal, ternyata dia cuma begitu doang. Saya suka sih keberanian dan ketulusan Feyre dalam membebaskan Tamlin. Bodoh sih, sebenarnya. Tapi kembali lagi Feyre tidak bisa membaca. Hahaha... #oops

Dan salah satu hal yang bikin saya tidak nyaman adalah Rhysand. Saya langsung tahu kalau dia bakal jadi love interest di buku selanjutnya. Khas Sarah J. Maas yang selalu memberikan cowok yang berbeda di setiap buku seriannya. Lihat saja Throne of Glass. Tiap buku cowoknya beda. Sudah kayak bikin harem cowok tampan buat tokoh utamanya. Saya sampai geli-geli sendiri. Mending kalau cewek tokoh utamanya memang spesial dan mengagumkan. Biasa saja, tuh.

Oke, kembali ke topik. Saya akan bicara soal Rhysand. Saya cukup suka dengan latar belakangnya. Saya harus mengakui kalau kepribadiannya lebih menarik dari Tamlin karena lebih mirip peri yang sesungguhnya. Jahat, kejam, pembohong, dan nakal. Tapi cara dia memperlakukan Feyre di buku ini merupakan sebuah penghinaan. Saya tidak bisa membayangkan kenapa Feyre akhirnya bisa suka sama dia. Kasusnya sama seperti Rowan dan Celaena di Throne of Glass. Sepertinya, Sarah J. Maas  memang suka sama tipe cowok kasar dan kejam seperti itu. Bad boy yang sebenarnya care sama ceweknya, tapi caranya salah?

Saya tadinya mau kasih 2 bintang karena saya banyak nggak sreg sama aspek-aspek di buku ini. Tapi, ada juga bagian-bagian yang saya suka. Terutama dunianya. Jadi, 3 bintang deh.

3/5

No comments:

Post a Comment