Monday 22 May 2017

Critical Eleven


Judul : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Tebal : 344 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.
 


Review:
Saya membaca buku ini karena filmnya akan tayang di bioskop. Pada saat saya menulis review ini sih, saya sudah nonton filmnya duluan. Hehe...

Di luar istilah "critical eleven" yang menurut saya keren banget itu, cerita ini sebenarnya sangat realistis. Tapi kemasan dan gaya penceritaannya membuat buku ini sangat menyentuh dan spesial. Saya menikmati dan penasaran dengan perkembangan hubungan Ale dan Anya yang tadinya manis romantis jadi dingin dan saling diam. Dituturkan dengan sistem acak, dengan flashback dan timeline yang tidak lurus, saya merasa jadi dekat dengan kedua tokoh utamanya. 


Menurut saya, ini buku Ika Natassa terbaik yang pernah saya baca. Kedua tokohnya lebih relatable dan membumi dibandingkan buku-buku penulis lainnya. Tidak hedonis dan dangkal seperti tokoh di Antologi Rasa, tidak whiny dan cemburuan seperti A Very Yuppy Wedding, dan tidak kekanakan seperti divortiare. Ale dan Anya adalah dua orang dewasa yang karena sebuah tragedi... hubungan mereka rusak. Masalahnya sederhana. Semuanya karena komunikasi yang salah. Dan masalah komunikasi ini sangat sangat sangat krusial. Urusan kecil bisa jadi besar hanya karena kurang komunikasi dan penyampaian yang nadanya tidak enak. Saya melihat hampir semua pasangan dan suami istri yang saya kenal kebanyakan jadi saling terganggu dan bahkan benci dengan pasangannya karena masalah kecil yang ditumpuk sedikit demi sedikit dan tidak dikomunikasikan. Tahu-tahu meledak dan tidak ada yang bisa diselamatkan lagi. Ujung-ujungnya cerai atau pura-pura seakan segalanya baik-baik saja. Yah... Saya tumbuh dewasa di tengah pasangan-pasangan seperti ini. And I wonder why I don't want to marry anyone.... hmmm...

Ada satu adegan yang bikin saya terharu di buku ini. Saat itu Ale sedang berantem dengan Anya dan kebetulan si Ale ini ulang tahun. Untuk bikin kejutan, keluarga Ale meminta Anya untuk pura-pura marah dan kabur. Yah, si Ale mengira itu serius dan panik. Tapi waktu dia akhirnya bertemu Anya di pesta kejutan itu... Pokoknya yah... Ika Natassa menggambarkan adegan itu, mendeskripsikan perasaan Ale dan nuansa adegannya dengan sangat sempurna. Saya ikutan sakit hati dan juga lega pada saat yang bersamaan. 

Dan saya sudah nonton filmnya. Bagus dan saya suka banget sinematografinya. Musiknya bagus dan pas, bikin saya nangis. Walau... mungkin saya lebih suka endingnya seperti di novel dan bukannya perfect begitu.

4/5

No comments:

Post a Comment